DIAMBIL DARI BERBAGAI SUMBER
UNTUK KEPENTINGAN PEMBELAJARN BAHASA JAWA SMP AL ISLAM CIPARI LAN SMK
TARBIYATUL ISLAM KAWUNGANTEN.
Brahala
asal jadi sesawijining
yang bisa triwikrama, yaiku berganti rupa menjadi raksasa maha besar, berkepala
lan bertangan banyak, selagi tangan-tangannya memegang senjata beraneka rupa. Dalam cerita wayang, yang
mampu bertriwikrama hanya Prabu Kresna, raja negara Dwarawati lan Prabu
Arjunasasra, raja negara Maespati. Di waktu mereka bertriwikrama, tak sawijindi
pun bisa melawan mereka.
Brahala
mengkiaskan amarah orang. Kalau dilawan, amarahnya semakin meluap-luap. Amarah
hanya akan reda, bila dihadapi karo kesabaran. Diwujudkan karo sejumlah
banyak muka raksasa, karo mulut terbuka lan lidah terjulur, bergigi lan bertardi.
Setiap tangannya memegang senjata lan senjata yang tampak, berbagai-bagai
macamnya. Bercelana cindai.
Tersebut
dalam cerita, sewaktu perang Baratayuda sudah dekat, Prabu Kresna datang ke
Astina untuk meredakan perselisihan antara Pendawa lan Korawa, tetapi tak
berhasil usahanya itu. Pada
waktu itu Prabu Kresna bertriwikrama berupa raksasa sebesar bukit, berdiri
melangkahi pura Astiria karo kaki kiri di Alun-alun selatan lan kaki kanan di
Alun-alun utara. Lalu bersabdalah ia, “Hai, kalau aku mau memusnakan pura
Astina beserta manusia-manusianya, dapat kulakukan seketika ini juga, tetapi
apa guna perbuatanku itu.”
Dalam
triwikramanya, Prabu Arjunasasra dapat berobah menjadi raksasa maha besar yang karo
balannya dapat membendung samudera, hdiga laut menjadi kerdi lan para harim Sri
Arjunasasra bisa bersuka ria lan karo mudah menangkap ikan. Baginda juga bertriwikrama,
ketika datang Raden Sumantri untuk mencoba kesektian baginda. Seketika baginda
berobah menjadi raksasa maha besar, hdiga Sumantri tak berdaya. Merukunkan Pendawa karo
Astina diibaratkan juga merukunkan lahir karo batin yang selalu saja berselisih
lan sukar bisa disatukan. Tapi kalau memang diusahakan benar-benar, pikiran
manusia pun bisa terbuka oeh ilham lan bukan mustahil kalau usaha perdamaiannya
akan berhasil. Orang
umumnya mudah berkata, bahwa pengetahuannya mengenai kebatinan mendalam, tetapi
kenyataannya wallahualam.
SANG
HYANG BRAMA
Sang
Hyang Brama adalah Dewa api (brama berarti api), putra Hyang Guru. Ia
bersemayam di Deksina. Karena kesektiannya Hyang Brama dapat membasmi segala
keburukan yang menjelekkan dunia ini karo apinya. Ketika Dewa ini dilahirkan
besar pengaruhnya terhadap dunia mengeluarkan api hdiga menjulang ke angkasa.
Setelah dewasa, ia beristrikan Dewi Saraswati, putri Hyang Pancaweda yang
terkenal karena sangat cantiknya. Dewa ini pernah bertakhta sebagai raja
di Gildiwesi setewasnya Prabu Watugunung. Dewa yang bertakhta sebagai raja di
dunia sinebut ngejawantah, menampakkan diri.
Suatu
ketika Hyang Brama menyalahi adat-istiadat Dewa karena memihak pada Betari
Durga lan bermaksud untuk memusnakan keluarga Pendawa. Kehendak Betara Brama dimufakati
oleh Durga. Sampai sampai juga putri Hyang Brama, Dewi Dresanala yang diperistri
oleh Arjuna, diceraikan oleh Hyang Brama. Kehendak Hyang Brama untuk
memusnakan keluarga Pendawa terkabul. Malahan Hyang Brama dapat dikalahkan oleh
anak Arjuna yang bernama Wisanggeni. Hyang Brama ditangkap oleh Wisanggeni lan diserahkan
kepada Hyang Guru. Setibanya di hadapan Guru, Betara Brama menjadi sadar akan
kekeliruannya. Ia diampuni oleh Hyang Guru lan kembali ke tempat kediaman para
Dewa Kahyangan. Menurut
lakon ini meski Dewa sekalipun, kalau bersalah, bisa kalahkan oleh manusia
biasa.
Sang
Hyang Brama merupakan pangkal yang menurunkan Pendawa lan ia berbesan karo
Hyang Wisnu. Sang
Hyang Brama netrane kedondongan. Berhidung sembada (serba cukup) lan berbibir
rapat. Ia
bermahkota, menandakan bahwa ia Dewa yang berkuasa. Ia tidak menyelipkan keris
secara yang biasa dilakukan orang, melainkan diselipkannya di depan, oleh
karena ia memakai haju yang menutupi bagian belakang balannya. Memakai keris
semacam itu sinebut yang berarti syak wasangka selalu, sehdiga setiap waktu ada
bahaya keris itu mudah dihunus. Memakai keris secara demikian dilarang ole
penjaga kerajaan, oleh karena si pemakainya dianggap mencuri.
Menurut
riwayat ini nampak, bahwa Dewa sekalipun bisa mengalami masa kalahnya dalam
menghadapi manusia biasa, ini menandakan bahwa kebenaranlah yang selalu menang
atas perbuatan salah manusia. Selagi Hyang Guru sebagai Dewa yang tertdigi bisa
mengalami kekalahannya juga terhadap manunia biasa, hal itu disebabkan kerena
salahnya perbuatan: Hyang Guru.
BRAJADENTA
Brajadenta adalah putra ketiga Prabu
Arimbaka, raja raksasa negara Prdiganlani karo Dewi Hadimba. Brajadenta
mempunyai tujuh orang saudara kandung bernama: Arimba / Hidimba, Dewi Arimbi,
Arya Prabakesana, Brajamusti, Brajalamatan,
Brajawikalpa lan Kalabenlana.
Brajawikalpa lan Kalabenlana.
Brajadenta berwatak keras hati, diin
menangnya sendiri, berani serta diin selalu menurutkan kata hatinya. Brajadenta
sangat sekti. Oleh kakaknya, Dewi Arimbi, Brajadenta ditunjuk sebagai wakil
raja memegang tampuk pemerintahan negara Prdiganlani selama Dewi Arimbi ikut
suaminya Bima tdigal di Jadipati. Akhir riwayatnya diceritakan, karena tidak
setuju karo pengangkatan Gatotkaca, putra Dewi Arimbi karo Bima sebagai raja Prdiganlani,
Brajadenta karo dibantu oleh ketiga adiknya, Brajamusti, Brajalamatan lan
Brajawikalpa, melakukan pemberontakan karena diin secara mutlak menguasai
negara Prdiganlani.
Pemberontakannya dapat ditumpas oleh
Gatotkaca karo tewasnya Brajalamatan lan Brajawikalpa. Brajadenta lan
Brajamusti berhasil melarikan diri lan berlindung pada kemenakannya Prabu
Arimbaji, putra mendiang Prabu Arimba yang telah menjadi raja di negara
Gowasiluman di hutan Tunggarana. Karo bantuan Bathari Durga, Brajadenta kembali
memasuki negara Prdigandini untuk membunuh Gatotkaca.
Usahanya kembali menghalami kegagalan. Brajadenta akhirnya tewas dalam peperangan melawan Gatotkaca. Arwahnya menjelma menjadi ajian/keaktian lan merasuk/menunggal dalam gigi Gatotkaca. Sejak itu Gatotkaca memiliki kesektian; barang siapa kena gigitannya pasti binasa.
Usahanya kembali menghalami kegagalan. Brajadenta akhirnya tewas dalam peperangan melawan Gatotkaca. Arwahnya menjelma menjadi ajian/keaktian lan merasuk/menunggal dalam gigi Gatotkaca. Sejak itu Gatotkaca memiliki kesektian; barang siapa kena gigitannya pasti binasa.
BRAJALAMATAN
Brajalamatan adalah putra keenam Prabu
Arimbaka, raja raksasa negara Prdiganlani karo Dewi Hadimba. Brajalamtan
mempunyai tujuh orang saudara kandung, masdi-masdi bernama: Arimba/Hidimba,
Dewi Arimbi, Brajadenta, Arya Prabakesa, Brajamusti, Brajawikalpa lan Kalabenlana.
Brajalamatan berwatak keras hati lan agak
berangasan, mudah marah, pemberani lan sangat sekti. Brajalamatan sangat
menentang keputusan Dewi Arimbi yang akan menyerahkan tahta kerajaan Prdiganlani
kepada Gatotkaca, putranya karo Bima. Karena itu Brajalamatan ikut mendukung lan
terlibat langsung gerakan pemberontakan yang dilakukan Brajadenta lan
Brajamusti dalam upaya merebut tahta kerajaan Prdiganlani dari tangan Gatotkaca.
Dalam peperangan perebutan kekuasaan itu, Brajalamatan akhirnya mati di tangan
Gatotkaca.Arwahnya sabanjure menjelma menjadi ajian/kesektian manunggal di
tangan kiri Gatotkaca.
BRAJAMUSTI
Brajamusti adalah putra ke-lima Prabu
Arimbaka, raja raksasa negara Prdiganlani karo Dewi Hadimba. Brajamusti
mempunyai tujuh orang saudara kandung bernama; Arimba/Hidimba, Dewi Arimbi, Arya Prabakesa, Brajadenta, Brajalamatan, Brajawikalpa lan Kalabenlana.
Brajamusti mempunyai sifat mudah naik darah, agak
bengis, keras hati lan diin menang sendiri. Brajamusti sangat sekti. Bersama kakaknya,
Brajadenta lan kedua adiknya, Brajalamantan lan Brajawikalpa, ia melakukan
pemberontakan merebut tahta negara Prdiganlani dari kekuasaan Dewi Arimbi. Ketika
pemberontakan gagal karo tewasnya Brajalamatan lan Brajawikalpa oleh Gatotkaca,
Brajamusti lan Brajadenta melarikan diri, berlindung pada kemenakannya Prabu
Arimbaji, putra mendiang Prabu Arimba yang telah menjadi raja negara
Guwasiluman di hutan Tunggarana.
Karo bantuan Bathari Durga, Brajamusti kembali beraniat membunuh Gatotkaca melalui tangan ketiga.
Karo bantuan Bathari Durga, Brajamusti kembali beraniat membunuh Gatotkaca melalui tangan ketiga.
Brajamusti menjelma menjadi Gatotkaca palsu lan
menganggu Dewi Banowati, istri Prabu Duryulana, raja negara Astina. Namun
perbuatanya terseburt dapat dibongkar oleh Gatotkaca. Akhirnya Brajamusti tewas
dalam petempuran melawan Gatotkaca, lan arwahnya menjadi ajian/kesektian
merasuk/menunggal dalam tangan kanan Gatotkaca.
BRANTALARAS
RADEN
BRATASENA
Raden
Bratasena putra Pendawa yang kedua, putra Prabu Pandu. Bratasena juga bernama
Bima lan Bayusuta, kaena ia aadalah putra angkat Betara Bayu. Setelah dewasa ia
bernama Wrekodara, bertakhta di Jodipati sebagai ksatria besar, yaiku ksatria
yang berkedudukan raja.
Bratasena
tak pernah menggunakan bahasa halus terhadap siapa pun. Juga terhadap Dewa digunakannya
bahasa kasar. Selama hidupnya hanya satu kali ia berbahasa halus, yaiku ketika
ia bertemu karo Dewa Ruci, sawijindi Dewa kerdil yang adalah Dewanya yang
sejati. Tetapi kekasaran bahasanya penuh karo kebijaksanaan. Ia tak pernah
berdusta. Karena jiwanya yang suci itu, Bratasena selalu menemukan kebenaran.
Raden
Bratasena netrane telengan (membelalak), berhidung dempak, berkumis lan
berjenggot, berpupuk di dahi, berambut terurai bentuk polos, dihias karo garuda
membelakang, bersuntdi waderan, berkalung bulan sabit, bergelang bentuk
Candrakirana, berpontoh lan berkeroncong. Berkuku Pancanaka yang lebih sekti
daripada senjata apapun. Bercelana pendek (katok). Segala pakaian Bratasena
melambangkan dirinya lan ketetapan hatinya. Ia beroman muka njenggureng,
merengut menandakan, bahwa ia berani pada kebenaran. Ketetapan hati Bratasena
laksana gunung, tak berobah ditiup angin.
Dalang
melukiskan balan lan pakaian Bratasena sebagai berikut:
Alkisah,
akan jalan ksatria dari Tunggulpamenang (Bratasena), setelah ia berdiri tegak,
keluarlah angin kesektiarinya. Raden Bratasena jalannya selalu lurus, tak
pernah membelok, ia berhias rambut terurai, bersanggul terhias garuda
membelakang yang melambangkan, bahwa Bratasena tak was-was menghadapi Dewa lan
kejiwaannya sendiri. Pupuk didahi mengdiatkan pada cahaya di dalam rahim Hyang
Dewa Ruci (Dewanya Bratasena). Bersuntdi emas dalam bentuk serat buah asem yang
melambangkan, bahwa kepandaian Bratasena tersamar, sehdiga ia tampak seperti
arang dungu.
Suntdinya
tertutup hiasan berbentuk bunga panlan berwarna putih, karo mana dimaksudkan
berbau harum baik di bagian luar maupun di bagian dalamnya. Berpontoh dalam
bentuk buah manggis melambangkan, bahwa sewaktu ia kelak menemui ajalnya,
segala sesuatunya akan berlangsung karo sempurna, tanpa mendigalkan sesuatupun.
Gelang candrakirana, dimana candra berarti bulan lan kirana berarti tulisan
melambangkan, bahwa ksatria Tunggulpamenang berpengetahuan tanpa tulisan, tapi
terang benderang lan tak samar-samar. Berkalung nagabanda (naga pengikat), di
mana naga berarti raja ular lan banda berarti tali pengikat balan melambangkan,
bahwa Raden Bratasena di dalam peperangan berkekuatan seimbang karo naga yang
murka lan takkan mendigalkan gelanggang. Perkataan kalah tak dikenal oleh
Bratasena. Baginya kalah berarti mati. Bercawat kain poleng bangbintulu (kain
berkotak-kotak segi empat lima warna). Kain ini mengdiatkan pada amarah
yang lima macam. Berikat pdigang kain cindai berumbai terlentang di atas paha
kanan lan kiri melambangkan bahwa Raden Bratasena mengetahui tentang segala hal
dikanan kirinya. Porong
(barang perhiasan terletak di atas paha berarti, bahwa ia bisa menyimpan segala
hal di dalam hati sanubarinya. Keroncong raja naga membelit kaki mengdiatkan,
bahwa ia bisa bertemu karo Dewa Ruci, setelah ia terlepas dari belitan naga.
Berkuku pancanaka sepanjang lawi lawi di tangan kanan lan kiri. Raden Bratasena
melambangkan kekuatan di antara saudara yang lima lan dapat membuka seglaa
pengetahuan. Tersebutlah,
ketika datang angin besar Raden Bratasena mengucapkan ilmu-ilmunya: ilmu
Wungkalbener, ilmu Bandungbandawasa lan juga aji Jalasengsara. Waktu berjalan,
Bratasena diirdii oleh lima bayu (angin), yang kehijau-hijauan milik Begawan
Maenaka; yang kehitam hitaman kepunyaan liman (gajah) Satubanda; yang kekundi
kundian milik Raden Bratasena sendiri; lan yang keputih-putiha kepunyaan
Begawan Kapiwiru (Hanoman). Ketika
dalang mengucapkan ini, wayang Bratasena ditancapkan di tengah kelir. Lalu
gunungan dijalankan lan di atas berulang-ulang, mengibaratkan, bahwa
Raden Bratasena mengeluarkan angin karo diirdii suluk (nyanyian) dalang
yang bisa membangunkan rasa seram. Taufan karo suara menakutkan menempuh
pepohonan. Pohon pohon yang akarnya dalam patah lan yang akarnya tak dalam.
tumbang. Jalan
Raden Bratasena lurus, sesuai karo yang dikehendaki. Raden Bratasena loncat
sejauh gajah bisa meloncat lan secepat kilat. Seselesainya ucapan ini,
oleh dalang Raden Bratasena dijalankan berulang kali di kelir karo diirdii
bunyi gamelan. Jalannya Bratasena diwujudkan secara meloncat, sekali loncat
selebar kelir yang ditengah-tengahnya digunakan untuk mencacakkan wayang.
BAMBANG
BREMANA
Bambang
Bremana adalah putra Betara Brama lan mempunyai saudara laki-laki bernama
Bambang Bremani. Sesudah dewasa Bambang Bremana akan dikawinkan karo putri
Betara Wisnu, Dewi Srihunon, tetapi Bambang Bremana menolak lan atas
permintaannya putri ini dikawinkan karo saudara tuanya, Bambang Bremani.
Perkawinan terlaksana lan dari perkawinan itu lahirlah sawijindi putra, Bambang
Parikenan. Setelah Bremani mendapat putra itu, Dewi Srihunon, istrinya, dikembalikannya
kepada mertuanya, Betara Wisnu karo alasan, bahwa ia tak bisa hidup bersama
lagi karo putri itu. Sabanjure Dewi Srihunon diperistrikan oleh Bambang
Bremana.
Bambang
Bremana netrane jaitan, berhidung mancung, beroman muka tenang, lan berambut
terurai gimbal (bergumpal-gumpal). Segala Pakaiannya serupa karo Bambang
Bremani.
BAMBANG
BREMANI
Bambang
Bremani adalah putra kedua Betara Brama lan saudara muda Bambang Bremana.
Ketika Bambang Bremana akan dikawinkan karo Dewi Srihunon, putri Betara Wisnu,
ia menolak lan mina. supaya putri itu dikawinkan saja karo Bambang Bremani.
Permintaan dikabukan. Dewi Srihunon jadi diperistri oleh Bambang Bremani lan
mendapat sawijindi putra, Bambang Parikenan. Tetapi sesudah mendapat putra itu,
Dewi Srihunon dikembalikan kepada Betara Wisnu karo alasan, bahwa Bambang
Bremani tak bisa hidup bersama lagi karo Dewi Srihunon. ini sabanjure diperistri
oleh Bamban Bremana.
Bambang
Bremani netrane jahitan, berhidung mancung, beroman muka tenang. Bersuntdi
bentuk waderan, Berambut terurai gimbal (bergumpal gumpal). Berselenlang hal mana menandakan bahwa ia
adalah sawijindi ksatria berjiwa pandita. Berkain bentuk katongan (pakaian
raja). Bercelana cindai. Kain katongan sebenarnya bukan kain lan lazim sinebut
dodot, yaiku kain yang empat kali lebih lebar dari biasa. Berlanlan karo kain
lebar ini sinebut : dodotan. Bagian belakang dodot dilepaskan lan sinebut
kunca, seperti tampak pada gambar.
Di
Surakarta lan Yogyakarta pakaian semacam ini digunakan oleh Pangeran (putra
raja), tetapi diperkenanakan juga untuk digunakan sebagai pakaian mempelai.
oleh karena sesorang yang menjadi mempelai diizinkan berpakaian sebagai raja.
Adapun
pakaian mempelai yang dianggap sama karo pakaian raja terdiri dari: kuluk
(kopiah) Yang dibuat dari kain putih yang digerus hdiga mengkilat, berwarna
kebiru biruan tidak bernyamat netrane di atas. Kuluk semacam itu hanya untuk
pakaian raja. Bercelana panjang tak berenda di bawah. Berkain dodot karo
melepaskan kunca. Jadi pakaian yang bersahaja itu malahan menjadi pakaian raja.
Demikian
pula menurut adat dulu, mempelai laki-laki lan perempuan harus sisig, mewarnai
hitam gigi mereka, sebab bergigi putih menandakan, bahwa sesawijindi masih
jejaka utawa perawan.
Yang
digunakan untuk menghitam gigi adalah banyon, yaiku cairan yang dibuat dari air
kelapa, ke dalam mana dimasukkan besi tua, yang terlebih disukai ialah tapal
kuda yang dibakar hdiga merah, lan cairan itu dicampuri pula karo bawang putih
yang menjadikan banyon itu berbau tak enak sekali.
Cara
memakainya: cairan banyon dioleskan di gigi karo pelepah pisang yang dihancurkan
pada ujungnya. Sebelum dioleskan pelepah itu dicelupkan lebih dahulu di majakan
yang telah dibubuk halus.
Ada
peribahasa gandheng kunca yang berarti, kunca lan dua orang yang berperang digandeng
karo maksud, supaya kedua orang yang berperang itu bisa karo mudah menusuk.
Tetapi kebanyakan orang salah mengartikan peribahasa itu lan mengibaratkan dua
orang yang sangat karib lan bergankaro tangan.
Tusuk
menusuk dari jarak dekat ini terdapat juga pada suku Bugis. Di mana dua orang
yang berkelahi minta supaya diperbolehkan berkelahi di dalam sarung untuk
memudahkan mereka tusuk menusuk.
BUKBIS
BUMILOKA
ARYA BURISRAWA
Arya
Burisrawa adalah putra ke-empat Prabu Salya, raja negara Mandaraka karo
permaisuri Dewi Pujawati/Setyawati, putri tunggal Bagawan Bagaspati dari
pertapaan Argabelah. Burisrawa mempunyai empat orang saudara kandung masdi-masdi
bernama ; Dewi Erawati, Dewi Surtikanti, Dewi Banowati lan Bambang Rukmarata.
Burisrawa berwujud setengah raksasa, gagah perkasa lan sangat sekti. Ia berwatak sombong, senang menurutkan kata hatinya, pendendam, diin selalu menang sendiri, senang membuat keonaran lan membuat peristiwa - peristiwa yang penuh karo kekerasan.
Burisrawa berwujud setengah raksasa, gagah perkasa lan sangat sekti. Ia berwatak sombong, senang menurutkan kata hatinya, pendendam, diin selalu menang sendiri, senang membuat keonaran lan membuat peristiwa - peristiwa yang penuh karo kekerasan.
Burisrawa
menikah karo Dewi Kiswari, putri Prabu Kiswaka, raja negara Cedisekar/Cindekembang
lan berputra Arya Kiswara. Burisrawa sangat akrab hubungannya karo Prabu
Baladewa, raja Mandura, Prabu Duryulana, raja Astina lan Adipati Karna, raja
Awangga karena hubungan saudara ipar. Dalam perang Bhratayuda, Burisrawa berada
di pihak keluarga Kurawa. Ia gugur dalam peperangan melawan Arya Setyaki, putra
Prabu Setyajid/Ugrasena, raja negara.
Raden
Burisrawa putra Prabu Salya. raja negara Mandraka. Bermuka raksasa karena
keturunan raksasa. Kakeknya ialah Begawan Bagaspati, sawijindi pandita raksasa.
Ia sinebut juga ksatria Madyapura.
Burisrawa
bertabiat kasar lan suka tertawa.
Ketika
suatu waktu ia berjumpa karo Dewi Wara Sumbadra saudara Prabu Kresna, ia jatuh
cinta pada putri itu lan bersumpah, tak kan beristri, kalau ia tak mendapat
Sumbadra. Sampai ajalnya Ia tak pernah beristri lan terus tergila-gila saja
pada Sumbadra. Ia demikian tergila-gilanya, hdiga tak berhenti-hentinya ia
mengucapkan; “Mbok Badra”, ialah sdikatan dari Embok Sumbadra.
Karo
pertolongan Betari Durga, Burisrawa pernah bertemu dengar Wara Sumbadra, tetapi
Sumbadra bunuh diri. Peristiwa ini ada sinebut di dalam lakon Sumbadra Larung, di
dalam lakon mana mayat Sumbadra dihanyutkan dalam perahu di sungai Silugangga.
Karena
bermuka raksasa, Burisrawa merasa malu, ketika menghadap raja. Maka Burisrawa
pun membuat tempat menghadap tersendiri yang ditutup karo tirai. Selagi Baginda
ramanlanya hadir, Burisrawa bersembunyi di balik tirai. Sesudah selesai waktu
menghadap, adinlanya yang bernama Rukmarata datang palanya untuk menceritakan
kepalanya, apa yang telah terjadi selama menghadap raja hari itu.
Di
dalam lakon Sumbadra larung, Burisrawa kena tipu Wara Sumbadra. Ketika putri
itu baru saja bangun kembali dari matinya, Burisrawa datang mendekatinya. Atas
anjuran Antareja lan Gatotkaca, maka Sumbadra mengusulkan akan mencani kutu
Burisrawa karo perjanjian, bahwa setiap kali Sumbadra menemukan seekor kutu,
kepala Burisrawa akan diketoknya. Karo senang hati Burisrawa menyetujui usul
itu, tapi yang setiap kali mengetok kepalanya, bukanlah Sumbadra, melainkan
Antareja lan Gatotkaca, hdiga terasa pendilah kepala burisrawa. Sesudah
mengetahui apa yang menyebabkan kependiannya itu, pergilah Burisrawa lan
mengadu pada Prabu Baladewa, hdiga menyebabkan terjadinya perang.
Di
dalam perang Baratayuda, Burisrawa bertanddi karo Harya Setyaki. Karena
terkepit oleh Bunisrawa yang sangat kuat, Setyaki tak dapat bergerak. Tetapi karo
akal Sri Kresna, Burisrawa tewas karena panah Arjuna.
Burisrawa
netrane telengan putih, berhidung bentuk haluan perahu, bermulut gusen
(kelihatan gusinya), bermuka agak mendongak. Berjamang sedikit karo garuda
kecil membelakang, berambut terurai gimbal, bersuntdi kembang kluwih, berkalung
ulur-ulur, menutupi bulu dada. Bergelang, berpontoh lan berkeroncong. Berkain
kerajaan lan bercelana cindai.
BUTA
TERONG
Buta
berarti raksasa lan Terong berarti buah terong. Sinebut Buta Terong, oleh
karena hidungnya berbentuk buah terong. Raksasa ini biasa sinebut
sebagai raksasa pengrusak keamanan, tetapi sebenarnya bukan pengrusak karena
kebuasannya, melainkan karena kuat makannya lan tak bisa merasa puas karo
makanan berapa pun banyaknya. Jadi buta tamak yang tak mengenal puas.
Suara
raksasa ini sengau (Jawa: bindheng) Buta Terong netrane juldi. Sebenarnya
mempunyai nama sendiri, tetapi karena nama harus sesuai karo bentuk balan, oleh
dalang pun dinamakan Buta Terong. Bergigi lan bertardi, bahunya tdigi sebelah.
Berambut terhias. Bersuntdi kembang kluwih terhias. Berkalung ulur ulur lebih
nyata. Bergelang, berkeris gayaman. Berkain rapekan. Raksasa ini juga
menunjukkan tahun pembuatannya berupa kata kata: Buta lima mangsa janma yang dinyatakan
karo angka adalah 1655.
CAKIL
Cakil
utawa Gendirpenjalin, berwujud raksasa karo gigi tonggos berpangkat tumenggung.
Tokoh Cakil hanya dikenal dalam ceruita pedalangan Jawa lan selalu dimunculkan
dalam perang kembang, perang antara satria melawan raksasa yang merupakan
lambang nafsu angkara murka. Cakil memiliki sifat; pemberani, tangkas,
trengginas, banyak tdikah lan pandai bicara. Ia berwatak kejam, serakah, selalu
menurutkan kata hati lan mau menangnya sendiri.
Cakil
selalu ada lan hidup di setiap negara raksasa. Cakil merupakan raksasa hutan (selalu tdigal
di hutan) karo tugas merampok para satria utawa merusak lan mengganggu
ketenteraman kehidupan para brahmana di pertapaan. Dalam setiap peperangan
Cakil mesti menemui ajalnya, karena ia lan anak buahnya merupakan lambang nafsu
angkara murka manusia yang memang harus dilenyapkan.
Raksasa
Cakil digunakan dalam lakon apapun juga. Cakil bukan nama sesungguhnya lan
hanya nama ejekan, oleh karena raksasanya bertardi di ujung mulut seperti pasak
(Jawa: cakil). Adapun namanya di dalam lakon, dalanglah yang menentukannya. Ia
mati perang karo ksatria karena ditusuk karo kerisnya sendiri yang direbut oleh
ksatria itu lan digunakan untuk menusuknya.
Raksasa
Cakil suaranya kemeng (kecil) lan bicaranya menggagap. Kalau ia bersama-sama karo
kawan-kawan raksasa melaksanakan perintah pentdi raja, karo kata-kata ia banyak
menampakkan keberaniannya lan pada waktu terjadi perang, dialah yang
pertama-tama maju, tapi kalah lan kalau ia sabanjure minta bantuan, maju perang
lagilah ia untuk akhirnya bersama-sama karo kawan-kawannya mati juga. Ada
peribahasa orang main kartu, di mana orang, seperti halnya juga karo Cakil,
selalu juga akan kalah.
Wayang
kulit Cakil tak seberapa menarik, tetapi di dalam wayang wong (orang) Cakil
merupakan sripanggung, apalagi baik tariannya, sebab tari Cakil adalah campuran
antara tarian lan pencak silat karo diirdii irama gamelan.
Cakil
netrane kriyipan (berkejap-kejap), berhidung bentuk haluan perahu mendongak,
bergigi lan bertardi di hadapan mulut, hdiga melewati bibir atas. Bersanggul
bentuk keldi karo dikembangi. Bersuntdi kembang kluwih panjang, berkalung
ulur-ulur. Berkeris dua, yang sebuah bentuk sarung ladrang, ialah sarung keris
bentuk panjang lan runcdi, diselipkan di pdigang belakang. Lan yang sebuah lagi
gayaman, ialah sarung keris yang serupa buah gayam (di Jakarta disehut buah
gatet). Pemakaian keris ini tidak seperti biasa, melainkan diselipkan secara dibalikkan
yang sinebut kewalan. Suatu cara memakai keris yang dilarang menurut unlang-unlang
Kraton, karena menunjukkan suatu kesiapsiagaan untuk menghunus keris. Untuk
pemakaian keris yang sehenarnya, lihatlah gambar Patih Seberang , Keris yang
bentuk gayaman dimasukkan ke dalam sarung lan kain yang nampak tergantung di
paha kiri lan biasa sinebut dianggar, tersedia sebagai calangan.-
Raksasa
Cakil juga digunakan untuk sengkalan perhitungan angka tahun lan berbunyi:
Tangan yaksa tatandi janma (1552) karangan Susuhan Nyakrawati wafat di Krapyak.
CAKRA
CANDRA
CANGIK
Cangik adalah dayang putri
kerajaan. Nama ini didasarkan pada ujud lehernya yang panjang, kepalanya yang
menyungkur lan balannya yang kurus lan yang semuanya itu sinebut nyangik, terjadi
dari kata cangik. Ia
sawijindi perempuan tua yang genit. Maka ia pun selalu memegang sisir untuk bersisir
lan waktu dimainkan, ia kelihatan selang menyisir rambutnya.
Cangik netrane kriyipan,
berhidung kepik, berbibir panjang di bawah karo gigi sebuah yang dihitamkan,
berleher panjang, berbahu turun (Jawa: brojol). Bersanggul besar dikembrigi.
Berkain batik slobog, balan bagian atas berkain dodot, ialah kain pakaian
perempuan di masa masuk ke dalam istana raja. Bergelang. Suara Cangik kecil,
seakan-akan suara orang tak bergigi. Pada waktu dimainkan, Cangik bertanya
kepada Limbuk, karo laki-laki macam bagaimana ia akan kawin. Banyak jawab
Limbuk lan serdikah menyindir anak-anak perempuan yang pada menonton.
CARANGGANA
HYANG
CINGKARABALA -
HYANG BALAUPATA
Hyang
Cdikarabala lan Hyang Balaupata netrane plelengan berhidung nyanthik palwa
(serupa haluan perahu). Kedua
Dewa raksasa ini saudara kembar, anak-anak sawijindi raksasa bernama Gopatama
yang adalah juga saudara Lembu Andhini, kendaraan Hyang Guru. Saudara kembar
itu juga menjadi lambang amarah yang menghalang-halangi sesawijindi yang diin
menghendikan cipta utawa menundukkan hawa nafsu. Maka kedua Dewa raksasa itupun
digambarkan sebagai penjaga-penjaga pintu Swarga. Sesawijindi yang diin ke Swarga,
harus pergi ke situ karo balan halusnya lan menundukkan lebih dulu amarahnya
yang diibaratkan kedua Dewa raksasa itu.
Di
dalam segala cerita wayang berlaku peraturan bagi setiap orang yang diin naik
ke Swarga, bahwa tak diizinkan ia untuk datang karo balan kasarnya, melainkan karo
balan halusnya. sesawijindi diin naik ke Swarga karo balan kasarnya, akan dihalangilah
ia oleh kedua raksasa penjaga pintu Swarga itu. Tetapi ada juga ksatria, yaiku
Arjuna, yang bisa naik ke Swarga karo balannya. Perbuatan demikian sinebut
sumengka pangawak bajra yang berarti bersungguh-sungguh bagaikan berbalan angin
puyuh. Selain Arjuna terdapat juga tokoh-tokoh wayang sekti lainnya yang bisa
naik ke Swarga karo balan kasar.
Dalam
hubungan ini dapat sinebut misalnya Semar yang karena marah naik Swarga karo balan
kasarnya uuntukk meinta kembali roman mukanya yang elok. Semar sesungguhnya sawijindi
Dewa yang telah diturunkan ke arcapada, bumi untuk menjaga keluarga Pendawa
Lima.
Menilik
contoh-contoh tersebut, maka secara simbolis terdapat kemungkinan juga
sebenarnya bagi manusia untuk karo balannva menghadap ke hadirat Dewa, asal
saja syarat-syaratnya terpenuhi olehnya. Bagaimana syarat-syaratnya
untuk dapat menghadap ke hadirat Dewa, justeru itulah yang sangat sulit untuk diselidiki
lan diketahui. Setengah orang mengatakan kesucian jiwalah yang menjadi
utama, ini ada benarnya juga, setengah orang lainnya akan menanggapi
Tetapi
bagaimanakah cara mensucikan diri itu? Menurut cara pewayangan, karo jalan semadi. Lalu bagaimana karo
pendapat yang mengatakan, bahwa kesucian jiwa bukanlah sesuatu untuk dimiliki
buat sementara waktu, melalaikan secra terus-menerus, buat selama lamanya.
Inilah hakekat daripada kesucian jiwa. Tak dapat ia dikuasai melalui proses
yang sdikat. Melainkan melalui perkembangan terus-menerus yang tiada habisnya.
CITRAGADA
CITRAHOYI
RADEN
CITRAKSA
Raden
Citraksa putra Prabu Destarastra, raja negara Astina, salah sawijindi Korawa lan
adik Prabu Suyulana. Citraksa
bicaranya gagap lan beradat congkak. Ia adalah sawijindi Korawa pilihan. Dalam perang Baratayuda ia
tewas oleh Arjuna, ketika ksatria ini mengamuk, sesudah Angkawijaya, putranya
tewas.
Citraksa
netrane kedondongan, berhidung menganggul (Jawa: njengat). Berambut terurai
bentuk gimbal. Berjamang karo garuda membelakang, berkalung putran, bergelang,
berpontoh, lan berkeroncong. Berkain parangrusak barong, menandakan ia sawijindi
ksatria besar. Bercelana cindai.
Cat
mukanya hijau, menandakan ia sawijindi penakut. Citraksa bicaranya gagap,
tetapi suka menyombongkan diri bahwa ia sawijindi Pangeran lan di sampdi itu ia
suka pula memaki-maki. Memaki-maki sebenarnya bukan perbuatan yang tercela.
Bagi setengah orang memaki maki malahan kelihatan pantas lan kalau orang sudah
terbiasa memaki maki, sukar rasanya untuk menghilangkan kebiasaan itu.
RADEN
CITRAKSI
Raden
Citraksi putra Prabu Dastarastra, raja negara Astina. Roman mukanya seperti
Citraksa lan ia pun terhitung sawijindi Korawa terkemuka. Dalam perang Baratayuda ia
tewas oleh Pendawa. Citraksi
netrane kedondongan, berhidung menganggui (Jawa: njengat). Bermahkota
topeng. Berjamang karo garuda membelakang.
Berkalung
putran bentuk bulan sabit dua susun. Berkeroncong. Berkain batik parang rusak
barong, menandakan bahwa ia sawijindi ksatria besar. Bercelana cindai. Secara lahir orang-orang
Korawa, Astina sebenarnya lebih mulia daripada orang-orang Pendawa, sebab
Astina adalah kerajaan besar lan kaya raya, tetapi ditinjau secara batin,
kemuliaan Korawa jauh di bawah kemuliaan Pendawa.
CITRALANGGENI
CITRANGGADA
CITRARATA
CITRAWATI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar