Jumat, 22 Januari 2016

Kumpulan Gambar Wayang 4

DIAMBIL DARI BERBAGAI SUMBER UNTUK KEPENTINGAN PEMBELAJARN BAHASA JAWA SMP AL ISLAM CIPARI LAN SMK TARBIYATUL ISLAM KAWUNGANTEN.

BRAHALA

Brahala asal jadi sesawijining yang bisa triwikrama, yaiku berganti rupa menjadi raksasa maha besar, berkepala lan bertangan banyak, selagi tangan-tangannya memegang senjata beraneka rupa. Dalam cerita wayang, yang mampu bertriwikrama hanya Prabu Kresna, raja negara Dwarawati lan Prabu Arjunasasra, raja negara Maespati. Di waktu mereka bertriwikrama, tak sawijindi pun bisa melawan mereka.
Brahala mengkiaskan amarah orang. Kalau dilawan, amarahnya semakin meluap-luap. Amarah hanya akan reda, bila dihadapi karo kesabaran. Diwujudkan karo sejumlah banyak muka raksasa, karo mulut terbuka lan lidah terjulur, bergigi lan bertardi. Setiap tangannya memegang senjata lan senjata yang tampak, berbagai-bagai macamnya. Bercelana cindai.
Tersebut dalam cerita, sewaktu perang Baratayuda sudah dekat, Prabu Kresna datang ke Astina untuk meredakan perselisihan antara Pendawa lan Korawa, tetapi tak berhasil usahanya itu. Pada waktu itu Prabu Kresna bertriwikrama berupa raksasa sebesar bukit, berdiri melangkahi pura Astiria karo kaki kiri di Alun-alun selatan lan kaki kanan di Alun-alun utara. Lalu bersabdalah ia, “Hai, kalau aku mau memusnakan pura Astina beserta manusia-manusianya, dapat kulakukan seketika ini juga, tetapi apa guna perbuatanku itu.”
Dalam triwikramanya, Prabu Arjunasasra dapat berobah menjadi raksasa maha besar yang karo balannya dapat membendung samudera, hdiga laut menjadi kerdi lan para harim Sri Arjunasasra bisa bersuka ria lan karo mudah menangkap ikan. Baginda juga bertriwikrama, ketika datang Raden Sumantri untuk mencoba kesektian baginda. Seketika baginda berobah menjadi raksasa maha besar, hdiga Sumantri tak berdaya. Merukunkan Pendawa karo Astina diibaratkan juga merukunkan lahir karo batin yang selalu saja berselisih lan sukar bisa disatukan. Tapi kalau memang diusahakan benar-benar, pikiran manusia pun bisa terbuka oeh ilham lan bukan mustahil kalau usaha perdamaiannya akan berhasil. Orang umumnya mudah berkata, bahwa pengetahuannya mengenai kebatinan mendalam, tetapi kenyataannya wallahualam.


SANG HYANG BRAMA


Sang Hyang Brama adalah Dewa api (brama berarti api), putra Hyang Guru. Ia bersemayam di Deksina. Karena kesektiannya Hyang Brama dapat membasmi segala keburukan yang menjelekkan dunia ini karo apinya. Ketika Dewa ini dilahirkan besar pengaruhnya terhadap dunia mengeluarkan api hdiga menjulang ke angkasa. Setelah dewasa, ia beristrikan Dewi Saraswati, putri Hyang Pancaweda yang terkenal karena sangat cantiknya. Dewa ini pernah bertakhta sebagai raja di Gildiwesi setewasnya Prabu Watugunung. Dewa yang bertakhta sebagai raja di dunia sinebut ngejawantah, menampakkan diri.
Suatu ketika Hyang Brama menyalahi adat-istiadat Dewa karena memihak pada Betari Durga lan bermaksud untuk memusnakan keluarga Pendawa. Kehendak Betara Brama dimufakati oleh Durga. Sampai sampai juga putri Hyang Brama, Dewi Dresanala yang diperistri oleh Arjuna, diceraikan oleh Hyang Brama. Kehendak Hyang Brama untuk memusnakan keluarga Pendawa terkabul. Malahan Hyang Brama dapat dikalahkan oleh anak Arjuna yang bernama Wisanggeni. Hyang Brama ditangkap oleh Wisanggeni lan diserahkan kepada Hyang Guru. Setibanya di hadapan Guru, Betara Brama menjadi sadar akan kekeliruannya. Ia diampuni oleh Hyang Guru lan kembali ke tempat kediaman para Dewa Kahyangan. Menurut lakon ini meski Dewa sekalipun, kalau bersalah, bisa kalahkan oleh manusia biasa.
Sang Hyang Brama merupakan pangkal yang menurunkan Pendawa lan ia berbesan karo Hyang Wisnu. Sang Hyang Brama netrane kedondongan. Berhidung sembada (serba cukup) lan berbibir rapat. Ia bermahkota, menandakan bahwa ia Dewa yang berkuasa. Ia tidak menyelipkan keris secara yang biasa dilakukan orang, melainkan diselipkannya di depan, oleh karena ia memakai haju yang menutupi bagian belakang balannya. Memakai keris semacam itu sinebut yang berarti syak wasangka selalu, sehdiga setiap waktu ada bahaya keris itu mudah dihunus. Memakai keris secara demikian dilarang ole penjaga kerajaan, oleh karena si pemakainya dianggap mencuri.
Menurut riwayat ini nampak, bahwa Dewa sekalipun bisa mengalami masa kalahnya dalam menghadapi manusia biasa, ini menandakan bahwa kebenaranlah yang selalu menang atas perbuatan salah manusia. Selagi Hyang Guru sebagai Dewa yang tertdigi bisa mengalami kekalahannya juga terhadap manunia biasa, hal itu disebabkan kerena salahnya perbuatan: Hyang Guru.


BRAJADENTA


Brajadenta adalah putra ketiga Prabu Arimbaka, raja raksasa negara Prdiganlani karo Dewi Hadimba. Brajadenta mempunyai tujuh orang saudara kandung bernama: Arimba / Hidimba, Dewi Arimbi, Arya Prabakesana, Brajamusti, Brajalamatan,
Brajawikalpa lan Kalabenlana.
Brajadenta berwatak keras hati, diin menangnya sendiri, berani serta diin selalu menurutkan kata hatinya. Brajadenta sangat sekti. Oleh kakaknya, Dewi Arimbi, Brajadenta ditunjuk sebagai wakil raja memegang tampuk pemerintahan negara Prdiganlani selama Dewi Arimbi ikut suaminya Bima tdigal di Jadipati. Akhir riwayatnya diceritakan, karena tidak setuju karo pengangkatan Gatotkaca, putra Dewi Arimbi karo Bima sebagai raja Prdiganlani, Brajadenta karo dibantu oleh ketiga adiknya, Brajamusti, Brajalamatan lan Brajawikalpa, melakukan pemberontakan karena diin secara mutlak menguasai negara Prdiganlani.
Pemberontakannya dapat ditumpas oleh Gatotkaca karo tewasnya Brajalamatan lan Brajawikalpa. Brajadenta lan Brajamusti berhasil melarikan diri lan berlindung pada kemenakannya Prabu Arimbaji, putra mendiang Prabu Arimba yang telah menjadi raja di negara Gowasiluman di hutan Tunggarana. Karo bantuan Bathari Durga, Brajadenta kembali memasuki negara Prdigandini untuk membunuh Gatotkaca.
Usahanya kembali menghalami kegagalan. Brajadenta akhirnya tewas dalam peperangan melawan Gatotkaca.  Arwahnya menjelma menjadi ajian/keaktian lan merasuk/menunggal dalam gigi Gatotkaca. Sejak itu Gatotkaca memiliki kesektian; barang siapa kena gigitannya pasti binasa.


BRAJALAMATAN


Brajalamatan adalah putra keenam Prabu Arimbaka, raja raksasa negara Prdiganlani karo Dewi Hadimba. Brajalamtan mempunyai tujuh orang saudara kandung, masdi-masdi bernama: Arimba/Hidimba, Dewi Arimbi, Brajadenta, Arya Prabakesa, Brajamusti, Brajawikalpa lan Kalabenlana.
Brajalamatan berwatak keras hati lan agak berangasan, mudah marah, pemberani lan sangat sekti. Brajalamatan sangat menentang keputusan Dewi Arimbi yang akan menyerahkan tahta kerajaan Prdiganlani kepada Gatotkaca, putranya karo Bima. Karena itu Brajalamatan ikut mendukung lan terlibat langsung gerakan pemberontakan yang dilakukan Brajadenta lan Brajamusti dalam upaya merebut tahta kerajaan Prdiganlani dari tangan Gatotkaca. Dalam peperangan perebutan kekuasaan itu, Brajalamatan akhirnya mati di tangan Gatotkaca.Arwahnya sabanjure menjelma menjadi ajian/kesektian manunggal di tangan kiri Gatotkaca.


BRAJAMUSTI


Brajamusti adalah putra ke-lima Prabu Arimbaka, raja raksasa negara Prdiganlani karo Dewi Hadimba. Brajamusti mempunyai tujuh orang saudara kandung bernama; Arimba/Hidimba,  Dewi Arimbi,  Arya Prabakesa,  Brajadenta,  Brajalamatan,  Brajawikalpa lan  Kalabenlana.  
Brajamusti mempunyai sifat mudah naik darah, agak bengis, keras hati lan diin menang sendiri.  Brajamusti sangat sekti. Bersama kakaknya, Brajadenta lan kedua adiknya, Brajalamantan lan Brajawikalpa, ia melakukan pemberontakan merebut tahta negara Prdiganlani dari kekuasaan Dewi Arimbi. Ketika pemberontakan gagal karo tewasnya Brajalamatan lan Brajawikalpa oleh Gatotkaca, Brajamusti lan Brajadenta melarikan diri, berlindung pada kemenakannya Prabu Arimbaji, putra mendiang Prabu Arimba yang telah menjadi raja negara Guwasiluman di hutan Tunggarana.
Karo bantuan Bathari Durga, Brajamusti kembali beraniat membunuh Gatotkaca melalui tangan ketiga.  
Brajamusti menjelma menjadi Gatotkaca palsu lan menganggu Dewi Banowati, istri Prabu Duryulana, raja negara Astina. Namun perbuatanya terseburt dapat dibongkar oleh Gatotkaca. Akhirnya Brajamusti tewas dalam petempuran melawan Gatotkaca, lan arwahnya menjadi ajian/kesektian merasuk/menunggal dalam tangan kanan Gatotkaca.


BRANTALARAS


RADEN BRATASENA


Raden Bratasena putra Pendawa yang kedua, putra Prabu Pandu. Bratasena juga bernama Bima lan Bayusuta, kaena ia aadalah putra angkat Betara Bayu. Setelah dewasa ia bernama Wrekodara, bertakhta di Jodipati sebagai ksatria besar, yaiku ksatria yang berkedudukan raja.
Bratasena tak pernah menggunakan bahasa halus terhadap siapa pun. Juga terhadap Dewa digunakannya bahasa kasar. Selama hidupnya hanya satu kali ia berbahasa halus, yaiku ketika ia bertemu karo Dewa Ruci, sawijindi Dewa kerdil yang adalah Dewanya yang sejati. Tetapi kekasaran bahasanya penuh karo kebijaksanaan. Ia tak pernah berdusta. Karena jiwanya yang suci itu, Bratasena selalu menemukan kebenaran.
Raden Bratasena netrane telengan (membelalak), berhidung dempak, berkumis lan berjenggot, berpupuk di dahi, berambut terurai bentuk polos, dihias karo garuda membelakang, bersuntdi waderan, berkalung bulan sabit, bergelang bentuk Candrakirana, berpontoh lan berkeroncong. Berkuku Pancanaka yang lebih sekti daripada senjata apapun. Bercelana pendek (katok). Segala pakaian Bratasena melambangkan dirinya lan ketetapan hatinya. Ia beroman muka njenggureng, merengut menandakan, bahwa ia berani pada kebenaran. Ketetapan hati Bratasena laksana gunung, tak berobah ditiup angin.
Dalang melukiskan balan lan pakaian Bratasena sebagai berikut:
Alkisah, akan jalan ksatria dari Tunggulpamenang (Bratasena), setelah ia berdiri tegak, keluarlah angin kesektiarinya. Raden Bratasena jalannya selalu lurus, tak pernah membelok, ia berhias rambut terurai, bersanggul terhias garuda membelakang yang melambangkan, bahwa Bratasena tak was-was menghadapi Dewa lan kejiwaannya sendiri. Pupuk didahi mengdiatkan pada cahaya di dalam rahim Hyang Dewa Ruci (Dewanya Bratasena). Bersuntdi emas dalam bentuk serat buah asem yang melambangkan, bahwa kepandaian Bratasena tersamar, sehdiga ia tampak seperti arang dungu.
Suntdinya tertutup hiasan berbentuk bunga panlan berwarna putih, karo mana dimaksudkan berbau harum baik di bagian luar maupun di bagian dalamnya. Berpontoh dalam bentuk buah manggis melambangkan, bahwa sewaktu ia kelak menemui ajalnya, segala sesuatunya akan berlangsung karo sempurna, tanpa mendigalkan sesuatupun. Gelang candrakirana, dimana candra berarti bulan lan kirana berarti tulisan melambangkan, bahwa ksatria Tunggulpamenang berpengetahuan tanpa tulisan, tapi terang benderang lan tak samar-samar. Berkalung nagabanda (naga pengikat), di mana naga berarti raja ular lan banda berarti tali pengikat balan melambangkan, bahwa Raden Bratasena di dalam peperangan berkekuatan seimbang karo naga yang murka lan takkan mendigalkan gelanggang. Perkataan kalah tak dikenal oleh Bratasena. Baginya kalah berarti mati. Bercawat kain poleng bangbintulu (kain berkotak-kotak segi empat lima warna). Kain ini mengdiatkan pada amarah yang lima macam. Berikat pdigang kain cindai berumbai terlentang di atas paha kanan lan kiri melambangkan bahwa Raden Bratasena mengetahui tentang segala hal dikanan kirinya. Porong (barang perhiasan terletak di atas paha berarti, bahwa ia bisa menyimpan segala hal di dalam hati sanubarinya. Keroncong raja naga membelit kaki mengdiatkan, bahwa ia bisa bertemu karo Dewa Ruci, setelah ia terlepas dari belitan naga. Berkuku pancanaka sepanjang lawi lawi di tangan kanan lan kiri. Raden Bratasena melambangkan kekuatan di antara saudara yang lima lan dapat membuka seglaa pengetahuan. Tersebutlah, ketika datang angin besar Raden Bratasena mengucapkan ilmu-ilmunya: ilmu Wungkalbener, ilmu Bandungbandawasa lan juga aji Jalasengsara. Waktu berjalan, Bratasena diirdii oleh lima bayu (angin), yang kehijau-hijauan milik Begawan Maenaka; yang kehitam hitaman kepunyaan liman (gajah) Satubanda; yang kekundi kundian milik Raden Bratasena sendiri; lan yang keputih-putiha kepunyaan Begawan Kapiwiru (Hanoman). Ketika dalang mengucapkan ini, wayang Bratasena ditancapkan di tengah kelir. Lalu gunungan dijalankan lan di atas  berulang-ulang, mengibaratkan, bahwa Raden Bratasena mengeluarkan  angin karo diirdii suluk (nyanyian) dalang yang bisa membangunkan rasa seram. Taufan karo suara menakutkan menempuh pepohonan. Pohon pohon yang akarnya dalam patah lan yang akarnya tak dalam. tumbang. Jalan Raden Bratasena lurus, sesuai karo yang dikehendaki. Raden Bratasena loncat sejauh gajah bisa meloncat lan secepat kilat. Seselesainya ucapan ini, oleh dalang Raden Bratasena dijalankan berulang kali di kelir karo diirdii bunyi gamelan. Jalannya Bratasena diwujudkan secara meloncat, sekali loncat selebar kelir yang ditengah-tengahnya digunakan untuk mencacakkan wayang.


BAMBANG BREMANA


Bambang Bremana adalah putra Betara Brama lan mempunyai saudara laki-laki bernama Bambang Bremani. Sesudah dewasa Bambang Bremana akan dikawinkan karo putri Betara Wisnu, Dewi Srihunon, tetapi Bambang Bremana menolak lan atas permintaannya putri ini dikawinkan karo saudara tuanya, Bambang Bremani. Perkawinan terlaksana lan dari perkawinan itu lahirlah sawijindi putra, Bambang Parikenan. Setelah Bremani mendapat putra itu, Dewi Srihunon, istrinya, dikembalikannya kepada mertuanya, Betara Wisnu karo alasan, bahwa ia tak bisa hidup bersama lagi karo putri itu. Sabanjure Dewi Srihunon diperistrikan oleh Bambang Bremana.
Bambang Bremana netrane jaitan, berhidung mancung, beroman muka tenang, lan berambut terurai gimbal (bergumpal-gumpal). Segala Pakaiannya serupa karo Bambang Bremani.



BAMBANG BREMANI


Bambang Bremani adalah putra kedua Betara Brama lan saudara muda Bambang Bremana. Ketika Bambang Bremana akan dikawinkan karo Dewi Srihunon, putri Betara Wisnu, ia menolak lan mina. supaya putri itu dikawinkan saja karo Bambang Bremani. Permintaan dikabukan. Dewi Srihunon jadi diperistri oleh Bambang Bremani lan mendapat sawijindi putra, Bambang Parikenan. Tetapi sesudah mendapat putra itu, Dewi Srihunon dikembalikan kepada Betara Wisnu karo alasan, bahwa Bambang Bremani tak bisa hidup bersama lagi karo Dewi Srihunon.  ini sabanjure diperistri oleh Bamban Bremana.
Bambang Bremani netrane jahitan, berhidung mancung, beroman muka tenang. Bersuntdi bentuk waderan, Berambut terurai gimbal (bergumpal  gumpal).  Berselenlang hal mana menandakan bahwa ia adalah sawijindi ksatria berjiwa pandita. Berkain bentuk katongan (pakaian raja). Bercelana cindai. Kain katongan sebenarnya bukan kain lan lazim sinebut dodot, yaiku kain yang empat kali lebih lebar dari biasa. Berlanlan karo kain lebar ini sinebut : dodotan. Bagian belakang dodot dilepaskan lan sinebut kunca, seperti tampak pada gambar.
Di Surakarta lan Yogyakarta pakaian semacam ini digunakan oleh Pangeran (putra raja), tetapi diperkenanakan juga untuk digunakan sebagai pakaian mempelai. oleh karena sesorang yang menjadi mempelai diizinkan berpakaian sebagai raja.
Adapun pakaian mempelai yang dianggap sama karo pakaian raja terdiri dari: kuluk (kopiah) Yang dibuat dari kain putih yang digerus hdiga mengkilat, berwarna kebiru biruan tidak bernyamat netrane di atas. Kuluk semacam itu hanya untuk pakaian raja. Bercelana panjang tak berenda di bawah. Berkain dodot karo melepaskan kunca. Jadi pakaian yang bersahaja itu malahan menjadi pakaian raja.
Demikian pula menurut adat dulu, mempelai laki-laki lan perempuan harus sisig, mewarnai hitam gigi mereka, sebab bergigi putih menandakan, bahwa sesawijindi masih jejaka utawa perawan.
Yang digunakan untuk menghitam gigi adalah banyon, yaiku cairan yang dibuat dari air kelapa, ke dalam mana dimasukkan besi tua, yang terlebih disukai ialah tapal kuda yang dibakar hdiga merah, lan cairan itu dicampuri pula karo bawang putih yang menjadikan banyon itu berbau tak enak sekali.
Cara memakainya: cairan banyon dioleskan di gigi karo pelepah pisang yang dihancurkan pada ujungnya. Sebelum dioleskan pelepah itu dicelupkan lebih dahulu di majakan yang telah dibubuk halus.
Ada peribahasa gandheng kunca yang berarti, kunca lan dua orang yang berperang digandeng karo maksud, supaya kedua orang yang berperang itu bisa karo mudah menusuk. Tetapi kebanyakan orang salah mengartikan peribahasa itu lan mengibaratkan dua orang yang sangat karib lan bergankaro tangan.
Tusuk menusuk dari jarak dekat ini terdapat juga pada suku Bugis. Di mana dua orang yang berkelahi minta supaya diperbolehkan berkelahi di dalam sarung untuk memudahkan mereka tusuk menusuk.


BUKBIS



BUMILOKA



ARYA BURISRAWA


Arya Burisrawa adalah putra ke-empat Prabu Salya, raja negara Mandaraka karo permaisuri Dewi Pujawati/Setyawati, putri tunggal Bagawan Bagaspati dari pertapaan Argabelah. Burisrawa mempunyai empat orang saudara kandung masdi-masdi bernama ; Dewi Erawati, Dewi Surtikanti, Dewi Banowati lan Bambang Rukmarata.
Burisrawa berwujud setengah raksasa, gagah perkasa lan sangat sekti. Ia berwatak sombong, senang menurutkan kata hatinya, pendendam, diin selalu menang sendiri, senang membuat keonaran lan membuat peristiwa - peristiwa yang penuh karo kekerasan.
Burisrawa menikah karo Dewi Kiswari, putri Prabu Kiswaka, raja negara Cedisekar/Cindekembang lan berputra Arya Kiswara. Burisrawa sangat akrab hubungannya karo Prabu Baladewa, raja Mandura, Prabu Duryulana, raja Astina lan Adipati Karna, raja Awangga karena hubungan saudara ipar. Dalam perang Bhratayuda, Burisrawa berada di pihak keluarga Kurawa. Ia gugur dalam peperangan melawan Arya Setyaki, putra Prabu Setyajid/Ugrasena, raja negara.
Raden Burisrawa putra Prabu Salya. raja negara Mandraka. Bermuka raksasa karena keturunan raksasa. Kakeknya ialah Begawan Bagaspati, sawijindi pandita raksasa. Ia sinebut juga ksatria Madyapura.
Burisrawa bertabiat kasar lan suka tertawa.
Ketika suatu waktu ia berjumpa karo Dewi Wara Sumbadra saudara Prabu Kresna, ia jatuh cinta pada putri itu lan bersumpah, tak kan beristri, kalau ia tak mendapat Sumbadra. Sampai ajalnya Ia tak pernah beristri lan terus tergila-gila saja pada Sumbadra. Ia demikian tergila-gilanya, hdiga tak berhenti-hentinya ia mengucapkan; “Mbok Badra”, ialah sdikatan dari Embok Sumbadra.
Karo pertolongan Betari Durga, Burisrawa pernah bertemu dengar Wara Sumbadra, tetapi Sumbadra bunuh diri. Peristiwa ini ada sinebut di dalam lakon Sumbadra Larung, di dalam lakon mana mayat Sumbadra dihanyutkan dalam perahu di sungai Silugangga.
Karena bermuka raksasa, Burisrawa merasa malu, ketika menghadap raja. Maka Burisrawa pun membuat tempat menghadap tersendiri yang ditutup karo tirai. Selagi Baginda ramanlanya hadir, Burisrawa bersembunyi di balik tirai. Sesudah selesai waktu menghadap, adinlanya yang bernama Rukmarata datang palanya untuk menceritakan kepalanya, apa yang telah terjadi selama menghadap raja hari itu.
Di dalam lakon Sumbadra larung, Burisrawa kena tipu Wara Sumbadra. Ketika putri itu baru saja bangun kembali dari matinya, Burisrawa datang mendekatinya. Atas anjuran Antareja lan Gatotkaca, maka Sumbadra mengusulkan akan mencani kutu Burisrawa karo perjanjian, bahwa setiap kali Sumbadra menemukan seekor kutu, kepala Burisrawa akan diketoknya. Karo senang hati Burisrawa menyetujui usul itu, tapi yang setiap kali mengetok kepalanya, bukanlah Sumbadra, melainkan Antareja lan Gatotkaca, hdiga terasa pendilah kepala burisrawa. Sesudah mengetahui apa yang menyebabkan kependiannya itu, pergilah Burisrawa lan mengadu pada Prabu Baladewa, hdiga menyebabkan terjadinya perang.
Di dalam perang Baratayuda, Burisrawa bertanddi karo Harya Setyaki. Karena terkepit oleh Bunisrawa yang sangat kuat, Setyaki tak dapat bergerak. Tetapi karo akal Sri Kresna, Burisrawa tewas karena panah Arjuna.
Burisrawa netrane telengan putih, berhidung bentuk haluan perahu, bermulut gusen (kelihatan gusinya), bermuka agak mendongak. Berjamang sedikit karo garuda kecil membelakang, berambut terurai gimbal, bersuntdi kembang kluwih, berkalung ulur-ulur, menutupi bulu dada. Bergelang, berpontoh lan berkeroncong. Berkain kerajaan lan bercelana cindai.


BUTA TERONG


Buta berarti raksasa lan Terong berarti buah terong. Sinebut Buta Terong, oleh karena hidungnya berbentuk buah terong. Raksasa ini biasa sinebut sebagai raksasa pengrusak keamanan, tetapi sebenarnya bukan pengrusak karena kebuasannya, melainkan karena kuat makannya lan tak bisa merasa puas karo makanan berapa pun banyaknya. Jadi buta tamak yang tak mengenal puas.
Suara raksasa ini sengau (Jawa: bindheng) Buta Terong netrane juldi. Sebenarnya mempunyai nama sendiri, tetapi karena nama harus sesuai karo bentuk balan, oleh dalang pun dinamakan Buta Terong. Bergigi lan bertardi, bahunya tdigi sebelah. Berambut terhias. Bersuntdi kembang kluwih terhias. Berkalung ulur ulur lebih nyata. Bergelang, berkeris gayaman. Berkain rapekan. Raksasa ini juga menunjukkan tahun pembuatannya berupa kata kata: Buta lima mangsa janma yang dinyatakan karo angka adalah 1655.


CAKIL



Cakil utawa Gendirpenjalin, berwujud raksasa karo gigi tonggos berpangkat tumenggung. Tokoh Cakil hanya dikenal dalam ceruita pedalangan Jawa lan selalu dimunculkan dalam perang kembang, perang antara satria melawan raksasa yang merupakan lambang nafsu angkara murka. Cakil memiliki sifat; pemberani, tangkas, trengginas, banyak tdikah lan pandai bicara. Ia berwatak kejam, serakah, selalu menurutkan kata hati lan mau menangnya sendiri.
Cakil selalu ada lan hidup di setiap negara raksasa.  Cakil merupakan raksasa hutan (selalu tdigal di hutan) karo tugas merampok para satria utawa merusak lan mengganggu ketenteraman kehidupan para brahmana di pertapaan. Dalam setiap peperangan Cakil mesti menemui ajalnya, karena ia lan anak buahnya merupakan lambang nafsu angkara murka manusia yang memang harus dilenyapkan.
Raksasa Cakil digunakan dalam lakon apapun juga. Cakil bukan nama sesungguhnya lan hanya nama ejekan, oleh karena raksasanya bertardi di ujung mulut seperti pasak (Jawa: cakil). Adapun namanya di dalam lakon, dalanglah yang menentukannya. Ia mati perang karo ksatria karena ditusuk karo kerisnya sendiri yang direbut oleh ksatria itu lan digunakan untuk menusuknya.
Raksasa Cakil suaranya kemeng (kecil) lan bicaranya menggagap. Kalau ia bersama-sama karo kawan-kawan raksasa melaksanakan perintah pentdi raja, karo kata-kata ia banyak menampakkan keberaniannya lan pada waktu terjadi perang, dialah yang pertama-tama maju, tapi kalah lan kalau ia sabanjure minta bantuan, maju perang lagilah ia untuk akhirnya bersama-sama karo kawan-kawannya mati juga. Ada peribahasa orang main kartu, di mana orang, seperti halnya juga karo Cakil, selalu juga akan kalah.
Wayang kulit Cakil tak seberapa menarik, tetapi di dalam wayang wong (orang) Cakil merupakan sripanggung, apalagi baik tariannya, sebab tari Cakil adalah campuran antara tarian lan pencak silat karo diirdii irama gamelan.
Cakil netrane kriyipan (berkejap-kejap), berhidung bentuk haluan perahu mendongak, bergigi lan bertardi di hadapan mulut, hdiga melewati bibir atas. Bersanggul bentuk keldi karo dikembangi. Bersuntdi kembang kluwih panjang, berkalung ulur-ulur. Berkeris dua, yang sebuah bentuk sarung ladrang, ialah sarung keris bentuk panjang lan runcdi, diselipkan di pdigang belakang. Lan yang sebuah lagi gayaman, ialah sarung keris yang serupa buah gayam (di Jakarta disehut buah gatet). Pemakaian keris ini tidak seperti biasa, melainkan diselipkan secara dibalikkan yang sinebut kewalan. Suatu cara memakai keris yang dilarang menurut unlang-unlang Kraton, karena menunjukkan suatu kesiapsiagaan untuk menghunus keris. Untuk pemakaian keris yang sehenarnya, lihatlah gambar Patih Seberang , Keris yang bentuk gayaman dimasukkan ke dalam sarung lan kain yang nampak tergantung di paha kiri lan biasa sinebut dianggar, tersedia sebagai calangan.-
Raksasa Cakil juga digunakan untuk sengkalan perhitungan angka tahun lan berbunyi: Tangan yaksa tatandi janma (1552) karangan Susuhan Nyakrawati wafat di Krapyak.


CAKRA




CANDRA


CANGIK


Cangik adalah dayang putri kerajaan. Nama ini didasarkan pada ujud lehernya yang panjang, kepalanya yang menyungkur lan balannya yang kurus lan yang semuanya itu sinebut nyangik, terjadi dari kata cangik. Ia sawijindi perempuan tua yang genit. Maka ia pun selalu memegang sisir untuk bersisir lan waktu dimainkan, ia kelihatan selang menyisir rambutnya.
Cangik netrane kriyipan, berhidung kepik, berbibir panjang di bawah karo gigi sebuah yang dihitamkan, berleher panjang, berbahu turun (Jawa: brojol). Bersanggul besar dikembrigi. Berkain batik slobog, balan bagian atas berkain dodot, ialah kain pakaian perempuan di masa masuk ke dalam istana raja. Bergelang. Suara Cangik kecil, seakan-akan suara orang tak bergigi. Pada waktu dimainkan, Cangik bertanya kepada Limbuk, karo laki-laki macam bagaimana ia akan kawin. Banyak jawab Limbuk lan serdikah menyindir anak-anak perempuan yang pada menonton.


CARANGGANA



HYANG CINGKARABALA - HYANG BALAUPATA


Hyang Cdikarabala lan Hyang Balaupata netrane plelengan berhidung nyanthik palwa (serupa haluan perahu). Kedua Dewa raksasa ini saudara kembar, anak-anak sawijindi raksasa bernama Gopatama yang adalah juga saudara Lembu Andhini, kendaraan Hyang Guru. Saudara kembar itu juga menjadi lambang amarah yang menghalang-halangi sesawijindi yang diin menghendikan cipta utawa menundukkan hawa nafsu. Maka kedua Dewa raksasa itupun digambarkan sebagai penjaga-penjaga pintu Swarga. Sesawijindi yang diin ke Swarga, harus pergi ke situ karo balan halusnya lan menundukkan lebih dulu amarahnya yang diibaratkan kedua Dewa raksasa itu.
Di dalam segala cerita wayang berlaku peraturan bagi setiap orang yang diin naik ke Swarga, bahwa tak diizinkan ia untuk datang karo balan kasarnya, melainkan karo balan halusnya. sesawijindi diin naik ke Swarga karo balan kasarnya, akan dihalangilah ia oleh kedua raksasa penjaga pintu Swarga itu. Tetapi ada juga ksatria, yaiku Arjuna, yang bisa naik ke Swarga karo balannya. Perbuatan demikian sinebut sumengka pangawak bajra yang berarti bersungguh-sungguh bagaikan berbalan angin puyuh. Selain Arjuna terdapat juga tokoh-tokoh wayang sekti lainnya yang bisa naik ke Swarga karo balan kasar.
Dalam hubungan ini dapat sinebut misalnya Semar yang karena marah naik Swarga karo balan kasarnya uuntukk meinta kembali roman mukanya yang elok. Semar sesungguhnya sawijindi Dewa yang telah diturunkan ke arcapada, bumi untuk menjaga keluarga Pendawa Lima.
Menilik contoh-contoh tersebut, maka secara simbolis terdapat kemungkinan juga sebenarnya bagi manusia untuk karo balannva menghadap ke hadirat Dewa, asal saja syarat-syaratnya terpenuhi olehnya. Bagaimana syarat-syaratnya untuk dapat menghadap ke hadirat Dewa, justeru itulah yang sangat sulit untuk diselidiki lan diketahui.  Setengah orang mengatakan kesucian jiwalah yang menjadi utama, ini ada benarnya juga, setengah orang lainnya akan menanggapi
Tetapi bagaimanakah cara mensucikan diri itu? Menurut cara pewayangan, karo jalan semadi. Lalu bagaimana karo pendapat yang mengatakan, bahwa kesucian jiwa bukanlah sesuatu untuk dimiliki buat sementara waktu, melalaikan secra terus-menerus, buat selama lamanya. Inilah hakekat daripada kesucian jiwa. Tak dapat ia dikuasai melalui proses yang sdikat. Melainkan melalui perkembangan terus-menerus yang tiada habisnya.



CITRAGADA



CITRAHOYI



RADEN CITRAKSA



Raden Citraksa putra Prabu Destarastra, raja negara Astina, salah sawijindi Korawa lan adik Prabu Suyulana. Citraksa bicaranya gagap lan beradat congkak. Ia adalah sawijindi Korawa pilihan. Dalam perang Baratayuda ia tewas oleh Arjuna, ketika ksatria ini mengamuk, sesudah Angkawijaya, putranya tewas.
Citraksa netrane kedondongan, berhidung menganggul (Jawa: njengat). Berambut terurai bentuk gimbal. Berjamang karo garuda membelakang, berkalung putran, bergelang, berpontoh, lan berkeroncong. Berkain parangrusak barong, menandakan ia sawijindi ksatria besar. Bercelana cindai.
Cat mukanya hijau, menandakan ia sawijindi penakut. Citraksa bicaranya gagap, tetapi suka menyombongkan diri bahwa ia sawijindi Pangeran lan di sampdi itu ia suka pula memaki-maki. Memaki-maki sebenarnya bukan perbuatan yang tercela. Bagi setengah orang memaki maki malahan kelihatan pantas lan kalau orang sudah terbiasa memaki maki, sukar rasanya untuk menghilangkan kebiasaan itu.


RADEN CITRAKSI


Raden Citraksi putra Prabu Dastarastra, raja negara Astina. Roman mukanya seperti Citraksa lan ia pun terhitung sawijindi Korawa terkemuka. Dalam perang Baratayuda ia tewas oleh Pendawa. Citraksi netrane kedondongan, berhidung menganggui (Jawa: njengat). Bermahkota topeng. Berjamang karo garuda membelakang.
Berkalung putran bentuk bulan sabit dua susun. Berkeroncong. Berkain batik parang rusak barong, menandakan bahwa ia sawijindi ksatria besar. Bercelana cindai. Secara lahir orang-orang Korawa, Astina sebenarnya lebih mulia daripada orang-orang Pendawa, sebab Astina adalah kerajaan besar lan kaya raya, tetapi ditinjau secara batin, kemuliaan Korawa jauh di bawah kemuliaan Pendawa.


CITRALANGGENI



CITRANGGADA



CITRARATA



CITRAWATI



Tidak ada komentar:

Posting Komentar